Sekolah Menulis Online

Sekolah-Menulis Online

Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat

Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat

Senin, 28 September 2009

Seni Mencintai dan Tingkat Eksistensi Diri

Mudahnya bilang cinta,
hanya karena suka
tak terasa terlena,
banyak hati kecewa
mungkin kau perlu waktu
tanyakanlah hatimu
bila terasa hampa
saat tiada berjumpa
pastilah itu cinta

Rafika duri

Alkisah, seorang pemuda menemui seorang ustadz yang dikenal cukup bijak dalam memutuskan perkara dan berkata "Pak ustadz, saya sudah tidak lagi mencintai istri saya. Rasa cinta itu sudah tidak ada lagi"

sang Ustadz berkata "Cintailah istrimu"

sang pemuda berkata lagi "Pak Ustadz, rasa cinta itu sudah tidak ada"

sang ustadz berkata lagi "Cintailah istrimu"

sang pemuda berkata lagi, mulai kehilangan kesabaran "Pak Ustadz, rasa cinta itu sudah tidak ada"

Sang ustadz lantas berkata "Tidak masalah apakah rasa cinta itu masih ada atau tidak, cintailah istrimu. Nak, sesungguhnya cinta itu hakikatnya memberi, bukan menerima. dengan mencintai, maka rasa cinta itu cepat atau lambat akan tumbuh kembali. Jangan hanya menjadikan cinta itu hanya sebagai perasaan yang menuntut untuk dipuaskan tetapi jadikanlah cinta itu sebagai kekuatan untuk memberi dan memahami"

Sang pemuda pun menganggukkan kepala, mengerti apa yang dikatakan sang ustadz

Sahabat,

Sungguh, di dunia ini tidak ada kata terindah sekaligus paling menyakitkan selain cinta. Namun pernahkah kita berintrospeksi cinta macam apakah yang kita punya?

Sebelum membahas tentang cinta itu sendiri, kita perlu mengetahui bahwa ada tiga tingkatan eksistensi diri manusia, yaitu materi, energi dan jiwa.


  1. Pada eksistensi diri tingkat materi, manusia terus menerus mencari sensasi kenikmatan sesaat. dia merasa terpisah dari lingkungannya dan orang lain. terkdang terjadilah lingkaran setan yang menjebak manusia sehingga sulit meningkat dari eksistensi materi. sensasi yang dia rasakan tidak memuaskan dia dan menyebabkannya mencari sensasi baru yang lebih dahsyat lagi. Sensasi itu bisa berupa sensasi fisik seperti makanan atau minuman, atau psikologis seperti pujian atau perhatian orang lain dsb. Orang yang masih dalam eksistensi materi seringkali merasa bosan dengan sensasi yang sudah ada dan ingin lebih lagi dan lagi. Manusia tingkat materi cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan apa saja yang dia miliki. dalam istilah Mas Jamil, orang-orang ini memiliki mentalitas To Have.


  2. pada eksistensi diri tingkat energi, manusia mulai meningkat kepekaannya dan merasakan kesatuan dan keterpautan dengan semesta dan sesamanya. bahwa dia adalah bagian tak terpisahkan dari lautan energi yang meliputi alam semesta ini. jeritan sesamanya yang terbenam dalam penderitaan mulai dia rasakan seakan-akan dia sendirilah yang mengalami penderitaan itu. Sebaliknya, apabila ada sesamanya yang mengalami kegembiraan, dia turut bergembira seakan-akan dia sendirilah yang mengalami kegembiraan itu.

  3. pada eksistensi diri tingkat jiwa, manusia mulai merasakan benar kekuasaan Allah SWT. Pada tahap eksistensi inilah manusia dapat dengan efektif membangun karakternya. Dia percaya bahwa dengan bantuanNya, dia akan lebih kuat daripada apapun juga di dunia ini. Namun, dalam menggapai impiannya, dia tidak egois dan hanya memikirkan diri sendiri. dia memastikan bahwa impiannya itu akan membawa manfaat bagi sebanyak mungkin manusia dan makhluk yang lain di dunia ini. Pada saat inilah seseorang biasanya mendapat atau merasakan panggilan jiwanya, mencari makna hidup sesungguhnya kata Victor Frankl. Misi hidup, menurut Steven Covey dan Proposal Hidup menurut Bapak Jamil Azzaini. Mereka memiliki mentalitas yang berbeda dengan orang-orang yang ada di tingkat materi yaitu mentalitas To Be atau mentalitas menjadi. Mereka secara proaktif mampu menulis ulang naskah kehidupan mereka agar sesuai dengan prinsip-prinsip kehidupan. Mereka mampu untuk menjadi lebih pengertian, lebih tekun, lebih sabar, lebih bersyukur dan sebagainya.


Maka,

  1. Jika seseorang mencintai pasangannya karena keelokan parasnya, maka sesungguhnya orang itu masih berada di tingkat eksistensi materi. Hawa nafsu masih mendominasi orang yang cintanya seperti ini. Sesungguhnya yang dia cari hanyalah sensasi, kenikmatan sesaat. Baik sensasi yang bersifat fisik atau psikologis.


  2. Jika seseorang mencintai pasangannya selama tingkat energinya kondusif, yaitu saat orang itu merasa nyaman saat mengajak pasangannya berinteraksi, maka sesungguhnya dia berada di tingkat eksistensi energi.


  3. Jika seseorang mencintai pasangannya tanpa syarat, hanya ingin memberkahinya sebagai seseorang yang dititipkan oleh Allah SWT kepadanya maka sesungguhnya dia telah berada di tingkat eksistensi jiwa. Dia telah memiliki karakter yang agung yaitu karakter yang terbentuk karena kebiasaan-kebiasaan baik yang selaras dengan syariat dan sunnatullah atau hukum-hukum alam.


Cinta pada eksistensi jiwa inilah yang mendorong seseorang mencintai yang dia cintai tanpa syarat, walaupun parasnya biasa saja atau tingkat energinya sedang kurang kondusif. Cinta yang lebih banyak mendengarkan, memahami, menghargai dan memberi. Cinta yang menghasilkan tabungan emosi positif yang jumlahnya tak terkira.

Sahabat,

ketika kita menikmati kopi instant, tentunya yang kita nikmati dan kita sukai adalah isinya. Diseduh air panas dan diminum perlahan-lahan, hmmmmmmmm nikmaat. bungkus aluminium foil-nya tentu saja kita buang, bukankah jarang sekali ada orang yang suka mengoleksi bungkus kopi

namun, apakah kita mencintai orang yang kita cintai dengan cara yang sama? kita hanya menyukai aspek-aspek tertentu darinya, apakah fisik atau parasnya saja atau tingkat energinya semata. Tentu saja tidak, jika ya, maka kita sesungguhnya tidak mencintai orang tersebut tetapi hanya sekedar menyukainya. Itu pun tidak 100 persen, tetapi hanya sebagian saja yang sesuai dengan selera kita.

Manusia adalah makhluk mulia yang harus dihargai secara keseluruhan. Manusia memang terdiri dari berbagai unsur seperti materi/fisik, energi dan jiwa. Namun, keseluruhan unsur-unsur itu membentuk satu kesatuan utuh yang disebut manusia. Hal ini tent tidak menafikan adanya kekurangan dalam diri manusia.

Karena itulah, mencintai seorang manusia haruslah dengan integritas pribadi yang kukuh. Cinta yang terpatrikan integritas di dalamnya akan menjadi benteng yang kukuh dan rumah yang nyaman bagi jiwa orang yang dicintai. Cinta yang benar-benar bisa dipercaya, tidak akan memanipulasi atau berbohong.

Erich Fromm mengatakan bahwa Cinta bukanlah sentimen yang dapat dinikmati oleh orang-orang tanpa pandang kedewasaan dan kematangan emosi. Fromm menyebut cinta seperti ini sebagai cinta produktif. Cinta yang oleh sang pencinta lebih difokuskan pada aktifitas, lebih memberi dan memahami secara proaktif. Memberi di sini tidak selalu dimaknai dengan materi, namun lebih kepada hal-hal yang bersifat energi atau spiritual seperti perhatian, pertolongan, dan menyediakan diri untuk dijadikan sandaran saat diperlukan.

Aktifitas dan pemberian itu didorong oleh adanya rasa kepedulian dari sang pencinta pada yang dicintainya. Kepedulian yang menimbulkan rasa tanggung jawab atau responsibility. Orang yang mencintai dengan cinta yang sejati tentu akan merespon dengan baik terhdap kebutuhan siapa saja yang dia cintai.

Namun, rasa tanggung jawab tersebut harus diimbangi dengan rasa hormat atau respect. Rasa hormat di sini adalah mencintai dengan membiarkannya tetap menjadi dirinya. Respon sang pencinta terhadap kebutuhan kekasihnya adalah respon yang tulus tanpa ada kepentingan terselubung di dalamnya. Respon yang tidak terdistorsi oleh keinginan atau ketakutan sang pencinta. "Aku mencintaimu sebagaimana engkau adanya, bukan sebagaimana yang aku inginkan", demikian kira-kira isi kepala dan hati mereka.

Rasa hormat seperti di atas hanya bisa didapatkan apabila sang pencinta adalah orang yang merdeka, yang telah mencapai kemerdekaan sepenuhnya atau Private Victory dalam istilah Steven Covey.

Rasa hormat itu sendiri hanya bisa didapatkan apabila sang pencinta memiliki ilmu pengetahuan yang memadai, baik tentang cinta itu sendiri ataupun orang yang dicintai. Pengetahuan seperti ini, selain diperoleh dengan belajar melalui berbagai sarana seperti buku, internet dan sebagainya, juga bisa diperoleh dengna komunikasi yang jujur, efektif dan saling terbuka penuh kepercayaan. Keterbukaan seperti itu tentu menimbulkan kerentanan, dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keimanan yang kukuh.

Karena itulah Erich Fromm mengatakan bahwa cinta adalah aksi dari orang-orang yang memiliki keimanan yang kukuh dalam dirinya. Orang-orang yang imannya lemah, maka Cintanya juga lemah.

Love means to commit oneself without guarantee, to give oneself completely in the hope that our love will produce love in the loved person. Love is an act of faith, and whoever is of little faith is also of little love.
- Erich Fromm

Cinta seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang sudah mampu berada dalam Modus Menjadi atau Being Mode, yaitu mereka yang mengidentifikasi diri dari apa yang mereka lakukan, bukan apa yang mereka miliki. Mode ini bertentangan dengan Having Mode, yaitu orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan apa-apa yang mereka miliki. Lagipula, bagi kita orang-orang beragama, sudah jelas dalam keyakinan kita bahwa segala seuatu adalah milik Allah SWT, kita sesungguhnya tidak punya apa-apa dan tidak pernah pula memiliki apapun juga. Kita hanya diberi amanah.

Maka, jelaslah kini bagi kita bahwa yang namanya cinta tidaklah identik dengan sekedar suka. Cinta adalah seni, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terlatih di dalam melaksanakan seni tersebut.

Sahabat,

Cinta bukanlah perkara remeh, mudah atau main-main. Cinta adalah Seni Maha Agung yang tidak semua orang bisa melakukannya. Orang harus belajar dan berlatih, bahkan kadang harus berjuang untuk mencintai dan mendapatkan cinta pada akhirnya.

Namun demikian, tidak pernah ada kata terlambat dalam belajar Seni mencintai. selama kita masih dianugerahi dan diamanahi kehidupan, maka saat itulah kita terus menerus belajar Seni mencintai, sehingga cinta yang indah itu akan menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kita.

Cinta tanpa seni mencintai bagai kapal rapuh yang penuh kebocoran berlayar di lautan, setiap saat bisa kandas atau tenggelam. Cinta dengan seni mencintai bagai Bahtera Nabi Nuh yang tidak akan pernah tenggelam walaupun badai dahsyat menggulung lautan yang sedang dilayari.

Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar